Tahun 2018 ini rakyat Indonesia sedang di uji. Kejadian pengeboman beberapa gereja dan fasilitas negara dibeberapa daerah akhir-akhir ini adalah tindakan teror yang tidak bisa ditolerir lagi. Untuk itu, diperlukan tindakan tegas. "Mereka (pelaku) dilumpuhkan hingga akhirnya 4
orang tewas, satu orang melarikan diri dengan mobil. Mobil tersebut sudah
diamankan, sementara satu orang pelaku yang melarikan diri sudah ditangkap dan
saat ini berada di Polresta Pekanbaru” Tribunnews.com,
Rabu (16/05/2018).
Kutipan diatas adalah sebagian dari “Kasus Terorisme” di Indonesia.
Indonesia adalah negara berkembang yang saat ini dalam keadaan “Darurat
Teroris”. Teroris yang mengatasnamakan Islam, yang melakukan aksi bom bunuh
diri dengan mengatasnamakan Jihad. Jihad yang
artinya berjuang dan bersungguh-sungguh (Wikipedia, 18/05/2018). Lalu, teroris
yang menggunakan istilah Jihad ini
sebenarnya apa yang mereka perjuangkan? Keluarga, sahabat bahkan kerabat pun turut
menjadi korban aksi bom bunuh diri yang mengatasnamakan Jihad.
Seperti yang dilansir oleh Tribunnews.com berikut ini :
“Pemboman yang dilakukan di tiga gereja di
Surabaya hari Minggu pagi itu ternyata melibatkan sebuah keluarga.” Tribunnews.com, Senin (14/05/2018).
Mengapa Indonesia marak terjadinya kasus teroris? Apa yang ingin
ditunjukkan oleh teroris tersebut? Siapa sebenarnya target aksi teroris? Lantas
bagaimana dengan kondisi masyarakat yang mengalami aksi teror tersebut? Apakah
ada hubungannya dengan kesehatan jiwa masyarakat Indonesia dengan maraknya aksi
teroris ini?
Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan mulai marak terjadi sejak
peristiwa 9/11 di Amerika Serikat pada tahun 2001. Tindak kejahatan terorisme
ini muncul seiring dengan berakhirnya era “Perang Dingin” yang ditandai dengan
munculnya aktor-aktor dalam politik global. Terorisme saat ini telah menjadi
isu global karena aktivitasnya yang sangat luas dapat terjadi dimanapun dan
kapanpun serta tidak memandang siapapun korbannya. Indonesia merupakan salah
satu negara yang seringkali menjadi tujuan berbagai kelompok teroris untuk
melancarkan aksinya, mulai dari Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom J.W Marriot, Bom
Kedubes Australia, dan lain-lain. Hal itu menandakan bahwa kelompok teroris
menganggap Indonesia memiliki posisi yang strategis untuk melakukan aksi mereka
agar tujuan mereka dapat dicapai.
Berdasarkan Analisa berbagai pihak, bahwa ada tiga penyebab utama munculnya gerakan terorisme di
Indonesia. Pertama, ideologi yang radikal dan ekstrim, ini bisa muncul di mana
saja, negara mana saja, dan di masyarakat manapun. Kedua, penyimpangan terhadap
ajaran agama yang dianut. Ketiga, karena kondisi kehidupan yang susah,
kemiskinan absolut, dan keterbelakangan yang ekstrim yang konon mudah sekali
dipengaruhi. Selain
itu, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tindakan
terorisme, yaitu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kesalahpahaman
memahami Islam. Pendapat lain menegaskan bahwa pemahaman
radikal terhadap agama merupakan penyebab utama terjadinya terorisme, yang
kerap muncul akibat perasaan diperlakukan tidak adil dalam berbagai bidang,
ditambah, munculnya kelompok atau orang tertentu yang mempengaruhi dengan motif
politik dan ideologi.
Untuk target sasaran utama dari
aksi teror ini sementara dapat disimpulkan yaitu “Polisi” seperti dilansir oleh
CNNIndonesia.com :
“Menurut Wawan, serangan
besar-besaran itu akan dilancarkan ke markas besar atau kantor kepolisian.” CNNIndonesia.com, Senin (14/05/2018).
Karena polisi yang bertugas menegakkan hukum dan memberantas teroris
maka dari itu, teroris pun menargetkan polisi menjadi sasaran utama dari
aksinya.
Bicara tentang target sasaran utama dari teroris, kira-kira apakah ada
hubungannya kesehatan jiwa dengan pelaku terorisme di Indonesia?
Penulis mempunyai pendapat bahwa terorisme muncul karena adanya
persepsi terhadap nilai-nilai tertentu yang diyakini benar, dan diluar yang
diyakini adalah salah. Untuk mendukung kebenaran dan ketaatan atas nilai
tersebut maka dilakukanlah cara-cara kekerasan, yang dianggap sebagai cara
paling efektif. Pandangan terhadap suatu nilai merupakan ranah disiplin ilmu
psikologi yang berhubungan erat dengan teori psikiatrik ketidaksehatan jiwa.
Walaupun penulis yakin bahwa teori ini tidak akan dipakai oleh aparat penegak
hukum, mengingat pelaku kejahatan yang mengalami gangguan (ketidaksehatan)
jiwa, jika mengacu pada KUHP, tidak bisa dikenai tindakan hukum.
Kecenderungan bahwa para pelaku aksi teror dimanfaatkan oleh pihak
tertentu. Yang unik adalah ada kondisi tertentu yang biasanya direkrut sebagai
kandidat pelaku bom bunuh diri seperti usia yang cukup muda antara 15-25 tahun,
penuh dengan kebimbangan, disorientasi, dan secara sosial-psikologis
terisolasi. Disebutkan juga bahwa perilaku teror lebih banyak disebabkan oleh
sikap yang dipelajari, bukan gangguan jiwa bawaan. Kesimpulannya, tidak
ditemukan indikasi/simton gangguan jiwa baik dari jenis psikosis maupun
antisosial. Dalam kasus, khusus pelaku aksi terorisme dapat dianggap sebagai
penderika ketidaksehatan jiwa seperti pada pelaku mutilasi siswi SMA di Poso.
Untuk melakukan aksi teror diperlukan suatu kecerdasan tersendiri. Aksi
teror tidak gampang dilakukan begitu saja. Perlu sebuah perencanaan yang
matang, menghitung risiko, bahkan teroris juga melakukan simulasi awal untuk
memastikan keberhasilan aksi bom bunuh diri tersebut.
Selain kecerdasan, seorang pemimpin aksi teror juga membutuhkan
kemampuan organisasi dan kepemimpinan. Para pelaku teror yang telah tertangkap
terbukti juga memiliki keluarga dan menjalin hubungan kekerabatan secara
normal. Mereka juga mempunyai anak, dan menunjukkan perilaku yang menyayangi
keluarganya.
Kecerdasan, kemampuan berorganisasi, dan kehidupan berkeluarga yang
wajar menunjukkan bukti bahwa para pelaku teror ini adalah orang yang relatif normal,
atau tidak tepat jika dikatakan sebagai penderita ketidaksehatan jiwa.
Secara umum, hal yang menyebabkan teroris dianggap menderita
ketidaksehatan jiwa adalah aksi teror dengan kekerasan bahkan hingga
mengakibatkan korban jiwa termasuk jiwanya sendiri (bunuh diri). Teori
psikiatrik ketidaksehatan jiwa juga menyatakan bahwa ketidaksehatan jiwa
mendorong orang melakukan kekerasan yang ekstrim. Selain itu orang yang
mempunyai perilaku fanatik akan berkarakter sadisme dan buas.
Dengan penjelasan di atas maka dapat dipahami jika muncul pendapat umum
yang mengatakan bahwa pelaku tindak terorisme adalah orang yang menderita
ketidaksehatan jiwa. Namun untuk menentukan apakah sesorang menderita
ketidaksehatan jiwa tentu saja tidak semudah hanya dengan suatu persepsi, namun
perlu observasi yang mendalam dengan prinsip-prinsip psikologi.
Oleh : Siti Norindah Sari
No comments: