Ayatun (2017) dalam Karya Tulisnya menyampaikan
bahwa Kecoa merupakan serangga yang hidup di dalam rumah, restoran, hotel,
rumah sakit, gudang, kantor, perpustakaan dan lain-lain. Serangga ini sangat
dekat kehidupannya dengan manusia, menyukai bangunan yang hangat, lembab dan
banyak terdapat makanan, hidupnya berkelompok, dapat terbang, aktif pada malam
hari seperti di dapur, di tempat penyimpanan makanan, sampah, saluran-saluran
air kotor dan sering bersembunyi di tempat-tempat gelap. Serangga ini dikatakan
pengganggu karena mereka biasa hidup di tempat kotor dan dalam keadaan
terganggu mengeluarkan cairan yang berbau tidak sedap (Sucipto, 2011).
Perilaku kecoa biasanya mengeluarkan makanan yang
baru dikunyah atau memuntahkan makanan dari lambungnya membuat kecoa mudah
menularkan penyakit pada manusia. Agen penyakit yang dapat ditularkan adalah
jenis virus, bakteri, protozoa, cacing dan fungi penyakit yang ditimbulkan oleh
agen penyakit yang ditularkan yaitu diare, virus polio dan virus hepatitis.
Pada beberapa kasus
kecoa menyebabkan alergi pada manusia dengan efek
dermatitis kulit, edema kelopak mata, gatal dan reaksi alergi lainnya (Sucipto,
2011). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Tanjungpinang pada tahun 2016
menunjukkan bahwa jumlah pasien diare di kota Tanjungpinang tercatat sekitar
2.868 penderita diare yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.455 dan perempuan
1.413 (Dinkes Tanjungpinang, 2016).
Dalam peraturan menteri kesehatan republik
Indonesia nomor 374/menkes/per/III/2010 menjelaskan tentang perlunya
pengendalian vektor. Pengendalian vektor dilakukan dengan memakai metode
pengendalian vektor terpadu yang merupakan suatu pendekatan yang menggunakan
kombinasi
beberapa metoda pengendalian vektor yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya
serta dengan mempertimbangkan kesinambungannya. Pengendalian vektor dilakukan
dengan meningkatkan penggunaan metode non kimia dan menggunakan pestisida
secara rasional serta bijaksana.
Pengendalian kecoa menurut Depkes RI (2002) dalam
Sucipto 2011 terdiri dari 4 cara, yaitu dengan cara pencegahan, sanitasi,
trapping dan pengendalian dengan insektisida. Penggunaan bahan kimia sebagai
pengendalian dengan insektisida dilakukan apabila ketiga cara sebelumnya telah
dilakukan namun tidak berhasil. Pada dasarnya semua insektisida beracun, gejala
keracunan yang ditimbulkan adalah gejala muskarinik seperti terjadi peningkatan
sekresi bronchial, berkeringat, dan air mata. Gejala nikotinik seperti pada
penderita berat: kejang diafragma dan otot pernafasan. Gejala syaraf pusat,
seperti menujukkan gejala keracunan berat (Kemenkes RI, 2012).
Penggunaan insektisida harus penuh dengan
kehati-hatian dengan penuh pertimbangan terhadap kesehatan masyarakat serta
lingkungannya, oleh karena itu perlu ditemukan cara lain yang lebih aman untuk
mengatasi masalah kecoa (Kemenkes RI, 2012). Pembatasan penggunaan bahan-bahan
kimia terutama pestisida kimia mulai mengalihkan kepada pemanfaatan jenis-jenis
pestisida yang
aman bagi lingkungan (Asmaliyah, 2010).
Untuk lengkapnya silahkan berkunjung ke
perpustakaan Poltekkes Kemenkes Tanjungpinang
KTI : Ayatun, Nada Rindu (2017). GAMBARAN
PENGGUNAAN EKSTRAK CABAI MERAH (Capsicum annum) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI
DENGAN METODE MASERASI TERHADAP PEMBASMIAN VEKTOR KECOA
(Periplaneta americana) DI KOTA TANJUNGPINANG.
No comments: